POLA LONGITUDINAL SUNGAI
Disusun Oleh :
Nama : Meris Rahmawati
NIM : H1K010022
Kelompok : Delapan
Assisten : Mega Dissa A
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
JURUSAN PERIKANAN DAN KELAUTAN
FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2011
I. PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Sungai sebagai bentuk perairan mengalir memilikikarakteristik yang khas dari daerh hulu hingga daerah hilir. Daerah hulu cenderung lebih sempit dibandingkan daerah hilir. Karakteristik yang dimiliki oleh sungai meliputi perbedaan kecepatan arus, jenis endapan, volume air kekeruhan dan tipe makanan yang tersedia sehingga daerah aliran sungai memiliki kondisi perairan yang berbeda - beda.
Sungai termasuk ke dalam jenis perairan lentik yaitu perairan mengalir dengan cakupan wilayah yang memanjang dari hulu hingga hilir. Sungai dimanfaatkan dalam berbagai keperluan. Bagi manusia sungai di manfaatkan untuk pertanian, domestik, transportasi, dan sebagainya. Sedangkan bagi hewan sungai di gunakan untuk mencari makan atau pun minum. Sehingga dari aktivitas – aktivitas tersebut dapat mempengaruhi kondisi sungai dan kualitas perairan tersebut.
Kualitas lingkungan perairan dapat diketahui dengan melihat kondisi fisik, kimia atau biologi suatu lingkungan perairan. Oleh sebab itu, dalam praktikum ini digunakan pendekatan secara fisik dan kimia untuk mengetahui kondisi lingkungan di DAS Serayu.
1. 2. Tujuan
Praktikum ekologi perairan, pola longitudinal sungai ini bertujuan untuk :
a. Mengetahui faktor fisikokimia Sungai kanding, Sungai mrican, Sungai kembangan, Sungai sigaluh, Sungai mandiraja, Sungai selomerto, Sungai kejajar, Sungai garung, Telaga warna, dan Telaga pengilon.
b. Mengetaui pengaruh faktor tersebut terhadap ekosistem sungai.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DAS Serayu
Sungai serayu pada beberapa segmennya mengalir melewati daerah pedesaan digunakan penduduk sekitar untuk aktifitas kehidupan. Sehari-hari seperti untuk prasarana MCK, dan pembuangan limbah. Gangguan antropogenik disebabkan aktifitas penduduk dan gejala alam seperti musim, kondisi lingkungan dapat mengalami gradasi dari hulu sampai hilir. Gradasi atau tingkat perbedaan terhadap kualitas lingkungan perairan berupa perubahan kecepatan arus, kekeruhan, suhu, substrat dasar, kimia air, biologi. Peristiwa ini dapat mengakibatkan terjadinya distribusi secara longitudinal. Sungai dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan, dengan pemanfaatan tersebut maka dapat mempengaruhi kondisi sungai (Siregar, 2001). Perubahan lingkungan di sepanjang sungai berpengaruh terhadap organisme sungai (Hawkes, 1978). Salah satu faktor yanng mempengaruhi kondisi faktor fisikokimia adalah tempat hidup organisme dalam suatu ekosistem (Krehs, 1978).
Berdasarkan letak dan kondisi lingkungan sungai dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:
§ Hulu sungai
Memiliki ciri-ciri, terletak di daerah dataran tinggi, mengalir di tempat yang curam, dangkal, berbatu, memiliki arus yang deras, kandungan oksigen terlarut tinggi, memiliki suhu yang rendah, dan berwarna jernih.
§ Hilir sungai
Memiliki ciri-ciri, terletak di aratan rendah, memiliki arus yang tidak begitu kuat,volume air besar, kecepatan fotosintesis tinggi dan banyak mengandung pupuk organik.
§ Muara Sungai
Memiliki ciri-ciri sebagai berikut, letaknya hampir mencapai laut, arus yang sangat lambat dengan volume yang besar, banyak mengandunng bahan terlarut, banyak terdapat lumpur dan warna air keruh.
2.2. Kualitas Air
Kualitas air, yaitu sifat air dan kandungan makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain di dalam air. Kualitas air dinyatakan dengan beberapa parameter yaitu parameter fisika mencakup suhu, kekeruhan, padatan terlarut. Sedangkan parameter kimia mencakup pH, oksigen terlarut, BOD, kadar logam. Dan parameter biologi berupa keberadaan plankton, bakteri dan sebagainya (Effendi, 2003).
2.3. Parameter Fisik-Kimia
Faktor fisiko kimia merupakan suatu faktor yang menentukan distribusi dari biota air. Penyebaran suatu jenis hewan akuatik ditentukan oleh kualitas lingkungan yang ada seperti sifat fisika, kimia, dan biologisnya (Odum, 1971). Parameter-parameter fisika dan kimia yang biasa digunakan untuk menentukan kualitas air adalah:
2.3.1 Temperatur
Suhu merupakan salah satu faktor yang penting dalam suatu perairan karena suhu merupakan faktor pembatas bagi ekosistem perairan dan akan membatasi kehidupan organisme akuatik (Odum, 1971). Umumnya suhu dinyatakan dalam satuan Celcius (°C) atau Fahrenheit (°F). Saat suhu menungkat terjadi penurunan gas-gas yang terlarut dalam air seperti O2, CO2, N2, CH4 (Effendi, 2003).
Menurut Barus (2002), kisaran suhu air yang baik dalam perairan dan kehidupan ikan yaitu berkisar antara 23-32ºC. Suhu pada permukaan dan pada dasar perairan mengalami perbedaan, hal tersebut dikarenakan pada permukaan perairan terjadi penyerapan cahaya matahari (Effendi, 2003).
2.3.2 Kecepatan Arus
Arus merupakan gerakan massa air dari satu tempat ke tempat lain baik secara vertikal (gerak ke atas) maupun secara horizontal (gerakan ke samping) (Anonim, 2011). Semakin tinggi kecepatan arus, kandungan oksigen terlarut dalam air yang sangat dibutuhkan oleh biota air dalam metabolismenya akan semakin banyak. Kecepatan arus berkurang seiring dengan penambahan kedalaman suatu perairan (Siregar, 2004). Pengetahuan tentang kecepatan arus digunakan untuk memperkirakan kapan bahan pencemar akan mencapai suatu lokasi tertentu apabila hulu suatu badan air mengalami pencemaran. Kecepatan arus dinyatakan dalam satuan m/s (Effendi, 2003).
2.3.3 Tipe Substrat
Substrat dasar perairan sangat dipengaruhi oleh kecepatan arus dan tegangan pada dasar perairan. Kecepatan arus sungai tidak tetap, sehingga substrat dasar sungai tersebut akan bervariasi. Substrat dasar perairan di daerah hulu biasanya berbatuan dan di daerah hilir atau muara biasanya berlumpur (Hynes, 1972). Selanjutnya Hynes (1972), menyatakan kecepatan arus 121 cm/dtk jenis substrat dasar berupa batu keras, 91 cm/dtk substratnya berupa batu besar, 60 cm/dtk substratnya berupa batu kecil, 30 cm/dtk substrat dasar pasir berbatu kecil, 20 cm/dtk substratnya berupa pasir dan 12 cm/dtk jenis substrat akan berupa lumpur.
2.3.4 Oksigen
Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO) dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut (Salmin, 2000). Kecepatan difusi oksigen dari udara, tergantung sari beberapa faktor, seperti kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara seperti arus, gelombang dan pasang surut. oksigen dalam air laut akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan berkurang dengan semakin tingginya salinitas (Odum, 1971).
Oksigen merupakan senyawa yang penting, karena diperlukan oleh semua organisme untuk pernapasan. Dalam budi daya ikan, kualitas dan kuantitas air yang memenuhi syarat merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam menentukan hasil produksi (Arifin, 1995).
2.3.5 Biological Oxygen Demand (BOD)
Kebutuhan oksigen biologi (BOD) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik, pada kondisi aerobik. Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan organik ini digunakan oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses oksidasi (Pescod, 1973).
Tabel 1. Tingkat pencemaran perairan berdasarkan nilai DO dan BOD
Tingkat Pencemaran | Parameter | |
| DO (ppm) | BOD (ppm) |
Rendah | >5 | 0-10 |
Sedang | 0-5 | 10 |
Tinggi | 0 | 25 |
Sumber : Wirosarjono (1974)
2.3.6 Skor Fisik Habitat
Merupakan suatu ksriteria dalam menentukan suatu kondisi fisik habitat berdasarkan Barbour and Stribling (1991). Parameter yang diukur yaitu, substrat dasar, kekomplekan habitat, kualitas bagian yang menggenang dan kestabilan tepi sungai. Sedangkan pengelompokan penilaiannya yaitu optimal, suboptimal, marginal, dan poor.
2.3.7 Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman atau sering dilambangkan dengan pH (puisanche of the H) merupakan ukuran konsentrasi ion hydrogen yang menunjukkan suasana asam suatu perairan. Ukuran nilai pH adalah 1-14 dengan angka 7 merupakan pH normal (Arie, 1999).
Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap prubahan pH. pH yang disukai oleh biota akuatik yaitu antara 7 - 8,5. Pada pH < 4, sebagian tumbuhan air mati karena tidak dapat bertoleransi dengan pH rendah (Effendi, 2003). Berikut adalah pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan, ditunjukkan dalam tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh pH terhadap komunitas Biologi perikanan
Nilai pH | Pengaruh Umum |
6,0 - 6,5 | 1. Keanekaragaman plankton dan bentos sedikit menurun |
| 2. Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas tidak mengalami perubahan |
5,5 – 6,0 | 1. Penurunan nilai keanekaragaman plankton dan bentos semakain tampak |
| 2. Kelimpahan total, biomassa dan produktivitas masih belum mengalami perubahan yang berarti 3. Algae hijau berfilamen mulai tampak pada zona litoral |
5,0 – 5,5 | 1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi Janis plankton, perifiton, dan bentos semakin besar. |
| 2. Terjadi penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan bentos |
| 3. Algae hijau berfilamen semakin banyak. |
| 4. Proses nitrifikasi terhambat. |
4,5 – 5,0 | 1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi Janis plankton, perifiton, dan bentos semakin besar. |
| 2. Penurunan kelimpahan total, biomassa zooplankton dan bentos. |
| 3. Algae hijau berfilamen semakin banyak. |
| 4. Proses nitrifikasi terhambat. |
Sumber: modifikasi Baker et al., 1990 dalam Novotny dan Olem, 1994
2.3.8 Kecerahan
Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhn. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visualdengan menggunakan secchi disk. Secchi disk dikembangkan oleh Professor Secchi pada sekitar abad 19, yang berusaha menghitung tingkat kekeruhan air secara kuantitatif. Tingkat kekeruhan air tersebut dinyatakan dengan suatu nilai yang dikenal dengan kecerahan secchi disk (Jeffries & Mills, 1996).
2.3.9 Kedalaman
Pada sungai dapat dijumpai tingkat yang lebih tua dari hulu ke hilir, perubahan lebih terlihat pada bagian atas aliran air, dan komposisi kimia berubah dengan cepat. Dan komposisi komunitas berubah sewajarnya yang lebih jelas pada kilometer pertama dibanding lima puluh (50) kilometer terakhir (Odum, 1988).
2.3.10 Lebar Sungai
Keanekaragaman dan kelimpahan biota juga ditentukan oleh karakteristik habitat perairan. Semakin panjang dan lebar ukuran sungai semakin banyak pula jumlah biota yang menempatinya (Kottelat, et al., 1996).
III. MATERI DAN METODE
3. 1. Materi Praktikum
3. 1. 1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah botol Winkler (4 buah), pipet ukur atau jarum suntik, labu erlenmeyer, thermometer, kertas pH, rolling meter, sechii disk, tali rafia (10 m), botol mineral 600 ml, label, selotif, GPS, jala surber.
3. 1. 2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum adalah sumber perairan, MnSO4 (1 ml), KOH-KI (1 ml), H2SO4 (1 ml), Na2S2O3 (0,025 n), indikator amilum, dan formalin 4%.
3. 2. Prosedur Kerja
3.2.1 Parameter Fisika-Kimia
3.2.1.1 Pengukuran Temperatur
Mencelupkan thermometer pada perairan, kemudian menunggu beberapa menit sampai pengukuran angka stabil. Pengukuran dilakukan pada 3 titik, selanjutnya di rata-ratakan.
3.2.1.2 Kecepatan Arus
Mengisi botol mineral 600 ml dengan air, tutup rapat. Kemudian botol diikat dengan tali rafia 10 m. Selanjutnya botol dihanyutkan di sungai yang akan diukur kecepatan arusnya, dicatat waktu yang diperlukan hingga tali terbentang. Kemudian menghitung kecepatan arus dengan rumus:
s = v x t
Keterangan: s : jarak yang ditempuh (m)
v : kecepatan arus (m/s)
t : waktu (s)
3.2.1.3 Tipe Substrat
Melakukan estimasi secara visual persentase bagian dasar sungai yang tertutup lumpur, pasir, kerikil, ataupun batu.
3.2.1.4 Pengukuran Oksigen Terlarut (DO)
1. Mengambil air menggunakan botol Winkler sebanyak 250 ml tanpa ada gelembung.
2. Menambahkan larutas MnSO4 dan KOH-KI secara berturut-turut masing-masing sebanyak 1 ml (menggunakan pipet ukur atau jarum suntik). Membiarkannya sampai terbentuk endapan.
3. Menambahkan H2SO4 pekat ke dalam botol lalu dikocok sampai terbentuk endapan.
4. Mengambil larutan sebanyak 100 ml dan dipindahkan ke dalam labu Erlenmeyer.
5. Melakukan titrasi dengan larutan Na2S2O3 (0,025 n) sampai larutan berwarna kuning muda.
6. Menambahkan 10 tetes indikator amilum hingga berwarna biru.
7. Melakukan titrasi kembali dengan menggunakan larutan Na2S2O3 (0,025 n) sampai warna biru hilang.
8. Melakukan titrasi duplo dan hasilnya dirata-rata.
9. Nilai DO dapat ditentukan dengan rumus :
DO = 1000/100 x p x q x 8
Keterangan: p : volume Na2S2O3 yang digunakan
q : normalitas Na2S2O3
8 : bobot setara larutan
3.2.1.5 Pengukuran Biological Oxygen Demand (BOD)
Pengukuran BOD dilakukan berdasarkan metode Winkler yaitu sampel dimasukkan ke dalam dua botol Winkler volume 250 ml sampai penuh. Botol Winkler pertama segera diperiksa kandungan oksigennya (DO0 hari), sedangkan botol Winkler kedua diinkubasi selama 5 hari pada suhu 20°C. Setelah inkubasi 5 hari, diperiksa kandungan oksigennya (DO5 hari). Untuk ukuran blanko, prosedur kerjanya sama seperti sampel.
Kandungan BOD dapat dihitung dengan rumus:
BOD = (A0 – A5) – (S0 –S5)T
P
Keterangan : A0 : Oksigen terlarut sampel pada nol hari
A5 : Oksigen terlarut sampel pada lima hari
S0 : Oksigen terlarut blanko pada nol hari
S5 : Oksigen terlarut blanko pada lima hari
T : persen perbandingan antara A0 : S0
P : derajat pengenceran
3.2.1.6 Skor Fisik Habitat
Mngukur skor fiisk habitat menggunakan Tabel Barbour dan Stribling. Pengukuran dilakukan pada tiap stasiun pengamatan.
3.2.1.7 Derajat Keasaman (pH)
Mencelupkan kertas pH ke dalam perairan, selanjutnya menyamakan perubahan warna pada kertas dengan warna skala pH yang tercantum.
3.2.1.8 Kecerahan
Memasukan sechii disk ke dalam air, kemudian mengukur kedalaman sampai batas antara hitam dan putih tidak dapat dibedakan. Apabila sampai dasar sungai masih dapat dibedakan. Mencatat kedalaman sampai dasar tersebut.
3.2.1.9 Kedalaman
Melakukan pengukuran kedalaman dengan tongkat penduga yang telah diberi skala tiap 2 meter lebar sungai.
3.2.1.10 Lebar Sungai
Lebar sungai dapat diukur dengan menggunakan alat yang disebut rolling meter. Apabila pengukuran tidak memungkinkan dapat dilakukan estimasi.
3.2.1.11 Lintang dan Bujur
Pengukuran lintang dan bujur dilakukan dengan GPS. Yang dilakukan di tempat terbuka agar pengukuran labih akurat.
3. 3. Waktu dan tempat
Praktikum dilaksanakan pada hari sabtu dan minggu tanggal 15 – 16 Oktober 2011 di daerah aliran Sungai serayu dan Dieng kabupaten Wonosobo.
1.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4. 1. HASIL
Tabel 3. Hasil pengukuran Fisikokimia
Stasiun | Temp (°C) | Kecepatan Arus (m/s) | Tipe Substrat | O2 (Mg/l) | BOD | Skor Fisik Habitat | |||||
DO akhir | BOD | 1 | 2 | 3 | 4 | Σ | |||||
Kanding | 28,5 | 0,08 | Berlumpur | 4,4 | | | | | | | 35 |
Mrican | 28 | 0,32 | Berbatu | 8 | 6 | 2 | 5 | 15 | 15 | 15 | 50 |
Kembangan | 28,5 | 0,31 | Berbatu | 4 | 4,4 | | 20 | 20 | 15 | 10 | 65 |
Sigaluh | 26 | 0,31 | Kerikil | 7,6 | 3,2 | 4,4 | 10 | 10 | 10 | 10 | 40 |
Mandiraja | 26 | 0,34 | Berbatu | 5,6 | 4,4 | 1,2 | 20 | 10 | 10 | 10 | 50 |
Selomerto | 25 | 0,63 | Berbatu | 5,2 | 3,2 | 2 | 20 | 20 | 15 | 5 | 60 |
Kejajar | 22 | 0,64 | Berbatu | 7,6 | 5,6 | 2 | 20 | 15 | 20 | 20 | 75 |
Garung | 23 | 1,32 | Berbatu | 6,4 | 5,6 | 0,8 | 10 | 10 | 10 | 20 | 50 |
T. warna | 20 | | | 0 | | | | | | | |
T. pengilon | 21 | | | 6 | | | | | | | |
Stasiun | pH | Kecerahan (cm) | Kedalaman (cm) | Lebar Sungai (m) | S | E |
Kanding | 7,5 | 8 | 700 | 30 | 07°30.705’’ | 109°20. 511’ |
Mrican | 7 | 85 | 110 | 30 | 07°24.3’’ | 109°35.48’’ |
Kembangan | 7,3 | 60 | 60 | | 07°27.42’’ | 109°26.04’ |
Sigaluh | 7 | 50 | 82,5 | 20 | 07°40.35’’ | 109°77’99 |
Mandiraja | 7 | 50 | 60 | 30 | 07°24.69’’ | 109°46’47 |
Selomerto | 7 | 42,5 | 60 | 20,5 | 07°25.28’’ | 109°52’21’’ |
Kejajar | 6,5 | 38,67 | 38,67 | 11 | | |
Garung | 6,5 | 25 | 25 | 14 | 07°17.716’ | 109°55.272’ |
T. warna | 3 | | | 300 | 07°12’56’ | 109°54’49’’ |
T. pengilon | 7 | | | 250 | 07°12’50’ | 109°55’1’ |
4.2. PEMBAHASAN
4.2.1 Parameter Fisik-Kimia
4.2.1.1Temperatur
Grafik 1. Pengukuran suhu pada 10 atasiun
Berdasarkan hasil pengukuran, bahwa 10 stasiun diatas memiliki temperatur yang berbeda satu dengan lainnya, dari daerah hulu ke hilir temperatur mengalami kenaikan. Telaga pengilon dengan temperatur 21°C hingga sungai Kanding dengan temperatur 28,5°C. Jadi, semakin ke hilir temperatur semakin meningkat.
4.2.1.2 Kecepatan arus
Grafik 2. Pengukuran kecepatan arus
Semakin tinggi kecepatan arus, kandungan oksigen terlarut dalam air yang sangat dibutuhkan oleh biota air dalam metabolismenya akan semakin banyak. Semakin dalam suatu perairan maka kecepatan arusnya semakin berkurang (Siregar, 2004).
4.2.1.3 Tipe Substrat
Tipe substrat pada 10 stasiun diantaranya berlumpur pada bagian hilir, berbatu dan berkerikil pada bagian hulu. Hal di atas sesuai dengan hasil pengukuran arus. Pada bagian hulu dengan kecepatan arus yang tinggi memiliki substrat batu, dan bagian hilir memiliki substrat lumpur karena kecepatan arus yang rendah.
4.2.1.4 Oksigen Terlarut (DO)
Grafik 3. Pengukuran Oksigen terlarut
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin ke hilir kandungan oksigen semakin rendah, begitu pula dengan suhunya yang bernilai tinggi. Perubahan oksigen dipengaruhi oleh perubahan temperatur dengan menunjukkan sifat yang berkebalikan. Temperatur tinggi maka kandungan oksigennya rendah begitu pula sebaliknya (Sutimin, 2001).
4.2.1.5 Biological Oxygen Demand (BOD)
Hasil praktikum menunjukkan bahwa Mrican, Mandiraja, Selomerto, Kejajar, Sigaluh, dan Garung termasuk sungai yang tercemar ringan. Hal diatas sesuai dengan pendapat Wirosarjono (1974) bahwa tingkat BOD dikatakan rendah yaitu dengan nilai antara 0 – 10 ppm, sedang 10 ppm, dan kategori tinggi dengan nilai 25 ppm.
4.2.1.6 Skor Fisik Habitat
Gambar 5. Pengukuran Skor fisik habitat
Menurut Barbour and stribling (1991) substrat dasar optimal lebih dari 80% dasar perairan terdiri atas kerikil, batu atau cadas. Sedangkan didaerah hilir antara Lumpur dan pasir, berarti daerah tersebut poor. Berdasarkan hasil pengamatan diberbagai stasiun, skor habitat paling tinggi yaitu 75 yang merupakan skor habitat sungai kejajar. Sedangkan untuk sungai yang lainnya yang berada di hilir seperti kanding, mrican, kembangan, sigaluh, mandiraja rata-rata memiliki skor fisik 35-65 saja.
4.2.1.7 Derajat Keasaman (pH)
Grafik 6. Pengukuran pH
Hasil pengamatan diatas diberbagai stasiun, diperoleh nilai berbeda-beda, dapat di lihat pada tabel 1, pH di Mrican, Sigaluh, Mandiraja, Selomerto, dan Telaga pengilon bernilai 7 yang berarti bahwa kondisi airnya netral sehingga dapat memungkinkan ikan untuk hidup. Sedangkan Telaga warna memiliki nilai pH 3 yang berarti perairan tersebut bersifat asam. Sehingga tidak dimungkinkan adanya siklus kehidupan disana. Telaga warna bersifat asam karena nilai alkalinitasnya rendah, hal tersebut dapat dilihat dari kandungan karbondioksida yang sedikit pada telaga warna. Semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin rendah kadar karbondioksida bebasnya (Effendi, 2003).
4.2.1.8 Kecerahan
Grafik 7. Pengukuran kecerahan
Hasil pengamatan menunjukan bahwa Sungai kanding memiliki predikat terlalu keruh karena kecerahannya hanya 8 cm. Hal ini sesuai dengan Sary (2006), bahwa di daerah hilir tingkat kecerahannya terlalu keruh. Sedangkan untuk sungai lainnya yang berada di atas atau bagian hulu memiliki kecerahan > 20 cm. Tingkat kecerahan antara <20 cm air terlalu keruh, antara >20 cm air stabil. Berarti di daerah hulu tingkat kecerahan stabil, sebaliknya di daerah hilir tingkat kecerahannya terlalu keruh (Sary, 2006).
4.2.1.9 Kedalaman
Grafik 8. Pengukuran kedalaman sungai
Kedalaman merupakan ukuran vertikal yang dipengaruhi oleh cahaya dan suhu. Sungai kanding merupakan sungai terdalam diantara stasiun lain dan Sungai garung merupakan sungai yang paling dangkal diantara semua stasiun. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kondisi sungai dari hulu ke hilir semakin dalam.
4.2.1.10 Lebar sungai
Grafik 9. Pengukuran Lebar sungai
Hasil dari praktikum yang dilakukan, di Sungai kanding, mrican dan mandiraja merupakan sungai yang paling lebar diantara semua stasiun. Sungai Kejajar memiliki lebar 11 m, dan merupakan sungai yang paling kecil diantara semua stasiun. Lebar sungai yang didapatkan sangat berfariasi, hal ini disebabkan karena bentuk topografi, substrat dasar, riparian vegetation, erosi, dan arus sungai yang membawa endapan dasar sungai tersebut.
4.2.1.11 Lintang
Hasil pengamatan di tiap-tiap sungai berbeda pada lintang, yaitu sebgai berikut ; Sungai kanding (07°30.705́́ ), Sungai mrican (07°24.3’), Sungai kembangan (07°27.42’), Sungai sigaluh (07°40.35’), Sungai mandiraja (07°24.69’), Sungai selomerto (07°25.28’), Sungai Garung (07°17.176’).
4.2.1.12 Bujur
Hasil pengamatan menunjukkan nilai bujur sebagai berikut ; Sungai kanding (109°20.511’), Sungai mrican (109°35.48’), Sungai kembangan (109°26.04’), Sungai sigaluh (109°77.99’), Sungai mandiraja (109°46.47’), Sungai Selomerto (109°55.272’).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5. 1. Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan pola longitudinal sungai di DAS Serayu maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Faktor Fisika-Kimia dapat digunakan untuk mengetahui kondisi suatu perairan.
2. Faktor Fisika-Kimia pada setiap perairan berbeda-beda hal diatas dapat disebabkan karena faktor lokasi / letak perairan tersebut.
5. 2. Saran
Praktikum Ekologi perairan penting untuk dilaksanakan, namun penentuan stasiun yang terlalu banyak membuat mahasiswa kewalahan dalam membuat laporan. Untuk kedepannya diharapkan penentuan stasiun lebih di spesifikkan, agar penyusunan laporan lebih terfokus.
DAFTAR PUSTAKA
Arie, U. 1999. Pembenihan dan Pembesaran Nila Gift. Penebar Swadaya. Jakarta.
Arifin, S., 1995, Menanggulangi Penyakit ikan dengan Imunisasi Maternal, Majalah Primadona, Edisi Nopember.
Barus, T. A. 2002. Pengantar Limnologi. Universitas Sumatra Utara. Medan.
Cole, G.A. 1983. Text Book of Limnology, Third Edition, Weveland Press Inc. Illinois.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta.
Haynes, H.B.N. 1977. Adult and Nymphs of British Stoneflis (Plecoptera).3th edition. freshwater Biological Association.
Hynes, H. B. 1972. The Ecological of Running Water. Liverpool University Press Ltd, London.
Jeffries, M and Mills, D. 1996. Freshwater Ecology, Principles, and Aplications. John Wiley and Sons, Chichester, UK. 285 p.
Leopold, l.b. 1974. Water: a primer, an outstanding and easy-to-read introduction to the fundamentals of water resources. W.H. Freeman, San Franscisco, USA.
Miller, G.T. 1990. Living in the Environment: An introduction to environmental Science. Sixth edition. Wardsworth Publishing Company, California, USA.
Novotny, V and Olem, H. 1994. Water Quality, Prevention, Identification, and Management of Diffuse Pollution. Van Nostrans Reinhold, New York. 1054 p.
Odum, P. E. 1971. Fundamental of Ecology. W. B. Sanders Company and Toppan Company Ltd. London.
Odum, T. Howard. 1992. Ekologi System. Gajah Mada University Press. Rajawali. Yogyakarta.
Odum, E.P 1998. Dasar Ekologi. (terjemahan) edisi 3. Gajah Mada Univ. Press: Yogyakarta.
Pescod, M. D. 1973. Investigation of Rational Effluen and Stream Standards for
Tropical Countries. A.I.T. Bangkok, 59 pp.
Salmin. 2000. Kadar Oksigen Terlarut di Perairan Sungai Dadap, Goba, Muara Karang dan Teluk Banten. Dalam : Foraminifera Sebagai Bioindikator Pencemaran, Hasil Studi di Perairan Estuarin Sungai Dadap, Tangerang (Djoko P. Praseno, Ricky Rositasari dan S. Hadi Riyono, eds.) P3O - LIPI hal 42 – 46.
Sary, 2006. Bahan Kuliah Manajemen Kualitas Air. Politehnik vedca. Cianjur
Siregar, A. S. Toni, P. S. Setijanto. 2001. Studi Ekologi Fauna Benthik (Macrobrachidium) di Sungai Banjaran, Pelus dan Logawa, Kabupaten Banyumas. Biosfera vol. 18 No 1.
Wirosarjono, S. 1974. Masalah-masalah yang dihadapi dalam penyusunan criteria kualitas air guna berbagai peruntukan. PPMKL-DKI Jaya, Seminar Pengelolaan Sumber Daya Air. , eds. Lembaga Ekologi UNPAD. Bandung, 27 - 29 Maret 1974, hal 9 – 15.
.